Housing-Estate.com, Jakarta – Pengembangan rumah bersubsidi atau rumah sederhana perlu terobosan baru. Pembangunan rumah untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) ini selama ini tersendat-sendat karena sulitnya mencari tanah murah. Pola hunian berimbang 1:2:3 yang ditetapkan pemerintah juga tidak berjalan. Dalam ketentuan tersebut setiap pembangunan satu rumah mewah harus diikuti dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana.
Ilustrasi
Ada sejumlah usulan yang disampaikan pengembang, misalnya kategori “3” atau rumah sederhana boleh dibangun di lokasi lain, tidak satu kawasan dengan rumah menengah dan mewah. Alternatif lain yang disodorkan adalah kolaborasi antar pengembang, misalnya pengembang kecil membangun rumah sederhana yang menjadi kewajiban pengembang besar. “Setiap pengembang memiliki kompetensi masing-masing, dengan kolaborasi itu pengembang kecil bisa belajar pengembangan proyek dari pengembang besar,” ujar Sekjen Realestat Indonesia (REI), Hari Raharta, kepada housing-estate.com di Jakarta, Senin (17/10).
Ia memberi contoh pengembangan rumah sederhana oleh BSD City (6.000 ha), Serpong, Tangerang Selatan, Banten, yang dilaksanakan beberapa pengembang kecil. Dulu pola hunian berimbang bukan 1:2:3 melainkan 1:3:6. Para pengembang kecil itu tugasnya bukan hanya membangun tapi juga memasarkan.
Menurut calon ketua umum REI periode 2016-2019 itu, kolaborasi ini diperlukan untuk meningkatkan kapasitas pengembang kecil. Kemampuan mereka perlu diasah dan ditingkatkan sehingga pada saatnya nanti mampu mengembangkan proyek yang segmennya lebih tinggi. Kerjasama ini membuat pengembang tidak perlu bersaing secara langsung karena punya segmen pasar berbeda. “Ini juga salah satu kelebihan berhimpun di REI, meskipun sama-sama pengusaha properti kita tidak gontok-gontokan. Di REI kita maju bareng, bisa belajar dan bertukar pengalaman,” imbuhnya.
