Housing-Estate.com, Jakarta – Terpuruknya sektor properti yang berkepanjangan dinilai sebagai kondisi tidak lazim. Siklus naik turunnya properti biasanya terjadi 2-3 tahunan. Sekarang sudah empat tahun lebih sektor properti terpuruk dan belum ada tanda-tanda segera bangkit. Khusus sektor residensial kesalahannya terletak pada pengembang dan pemerintah. Segmen menengah ke bawah yang pasarnya besar tidak digarap dengan baik.
“Pemerintah sebagai regulator dan pengembang tidak membuat strategi harga (pricing strategy) secara tepat. Padahal ini market yang paling potensial dan seharusnya bisa menjadi pendorong untuk bangkitnya sektor properti bangkit,” ujar Ferry Salanto, Senior Associate Director Research Colliers International Indonesia (CII), kepada housing-estate.com di Jakarta, Selasa (11/7).
Ferry menilai dukungan regulasi pemerintah terhadap segmen ini kurang kuat. Ini membuat kalangan pengembang berkreasi yang sebetulnya kurang positif. Misalnya menawarkan cara bayar tunai bertahap (installment) yang semakin panjang, program tanpa depe, dan lain-lain. Cara bayar seperti ini sebetulnya merugikan konsumen karena pengembang membangun dengan dana konsumen (tidak di-back up pembiayaan bank) sehingga sangat berisiko.
Pengembang juga dinilai tidak realitistis dalam menetapkan strategi harga. Harga yang ditawarkan terlalu tinggi sehingga tidak terjangkau kalangan menengah bawah. Di sisi lain pengembang dihadapkan pada semakin tingginya harga tanah. Karena itu pemerintah dengan kewenangannya seharusnya dapat mengendalikan harga tanah, membangun infrastruktur, selain suku bunga rendah.
“Situasi yang terjadi belum pas padahal suplai ada dan demand-nya besar. Ini yang harus didorong, pengembang mengemas produknya supaya diterima pasar dan pemerintah membuat regulasi yang membuat masyarakta bisa mengakses perbankan dengan lebih mudah. Yang terjadi sekarang, barang ada tapi tidak terserap karena berbagai kendala tadi,” pungkasnya.