Housing-Estate.com, Jakarta – Gaya hidup boleh modern, bahkan untuk memenuhi gaya hidup atau mengembangkan bisnisnya, mereka tidak ragu untuk meminjam uang. Tapi ternyata urusan investasi, pilihannya ternyata cukup konvensional, mirip dengan generasi orang tua mereka. Mereka lebih memilih berinvestasi di properti dan tidak ragu untuk memegang uang tunai dalam jumlah besar. Itulah gaya hidup investor milenial Asia seperti yang terungkap dari survei Manulife Asset Management yang dirilis baru-baru ini.

Ilustrasi
Survei tersebut dilakukan di delapan pasar Asia, yaitu Hong Kong, Tiongkok, Singapura, Indonesia, Filipina, Malaysia, Thailand dan Taiwan. Dilakukan selama September – Oktober tahun lalu atas 4.000 responden, di mana 1.400 di antaranya termasuk kategori kaum milenial. Termasuk kategori ini yakni mereka yang berusia antara 18-34 tahun. Salah satu pertanyaan surveinya adalah apa rencana investasi mereka saat pensiun nanti.
Properti adalah jawaban mayoritas dan ini tidak berbeda dengan pilihan investasi orang tua mereka. “Investor milenial ini tumbuh di era di mana mereka menyaksikan orang tuanya bisa menikmati keuntungan dari properti yang dimiliki. Dengan demikian mereka secara alami mengikuti pola investasi tersebutm,” papar Michael Dommermuth, Head of Wealth and Asset Management, Asia Region, for Manulife Asset Management.
Hasil survei itu menunjukkan bahwa 51 persen investor milenial di seluruh Asia ingin membeli properti di pasar lokal dalam jangka pendek. Ini 57 persen lebih tinggi dari pada investor lain pada semua kategori usia. Dilihat dari asal negaranya, investor milenial Indonesia adalah yang paling mau melakukan hal tersebut, sebanyak 82 persen dan ini menempati posisi teratas. Selanjutnya berturut-turut adalah investor Taiwan (65 persen), Filipina (59 persen), Hong Kong (53 persen) dan Tiongkok (44 persen).
Menurut Dommermuth, para investor milenial harus hati-hati dengan pasar properti Asia sebab pada tahun-tahun mendatang tingkat pertumbuhannya tidak akan sama dengan dekade silam. “Populasi Asia akan semakin menua dan ekonominya melemah. Generasi yang lebih tua memang sangat mengandalkan real estat untuk pendapatan masa pensiunnya, tapi sekarang kondisi sudah berubah karena itu kaum milenial harusnya punya pendapatan berbeda,” jelasnya. Dommermuth menyarankan bagi kaum millenial yang masih mau menanam uangnya di negara-negara Asia, sebaiknya pilih di negara-negara yang pasarnya masih berkembang macam Indonesia. Sebab harganya masih lebih baik daripada membeli rumah di negara yang sudah matang, seperti Hong Kong atau Singapura. Di negara-negara itu, menurutnya, karena pertumbuhan ekonominya melemah dan penduduknya menua akan mengurangi keuntungan dari pasar realestatnya.
Selain properti, kaum milenial Asia juga masih suka menyimpan uang tunai. Lima puluh persen responden mengatakan kalau tabungan di bank adalah jenis investasi non properti yang mereka pilih. Bandingkan dengan investor milenial di AS atau negara-negara Eropa yang hal itu hanya dilakukan oleh 20 persen milenialnya. Di Asia, hanya sekitar 20 persen investor memilih produk asuransi, 15-20 persen berinvestasi di saham, dan sisanya baru di mutual fund. Sebaliknya di AS dan negara-negara maju, 15 perseb kaum milenialnya memilih berinvestasi di mutual fund, selebihnya berbagi baik di produk asuransi maupun dana pensiun lain.
Atas pilihan tersebut, Dommermuth menyatakan kalau sebaiknya kaum milenial memperhatikan portofolio investasinya di tabungan, karena tidak lagi memberi hasil yang bagus, mengingat suku bunga yang cenderung menurun. Sekalipun AS akan menaikkan tingkat suku bunganya, tapi sekarang bukan masanya lagi tingkat suku bunga tinggi. Karena itu, sarannya, investor Asia ini harus sudah mulai mengalihkan investasinya ke saham atau jenis-jenis mutual funds. Yang jelas, “Para investor harus mendiversifikasikan portofolio investasinya di aneka produk dan pasar, untuk mengurangi risiko,” tandas Dommermuth.
Sumber: South China Morning Post