Housing-Estate.com, Jakarta – Perkembangan hunian vertikal yang cukup pesat tidak diikuti dengan regulasi memadai. Akibatnya muncul banyak persoalan di apartemen yang menganggu kenyamanan dan keamanan seluruh penghuni. Salah satu contohnya pengelolaan apartemen Green Pramuka City (12,9 ha) di Jalan Ahmad Yani, Cempaka Putih, Jakarta Timur, yang dikembangkan PT Duta Paramindo Sejahtera (DPS). Ribut-ribut antara penghuni dengan pengelola mulai terjadi sejak unit apartemen ini mulai diserahterimakan pada tahun 2012.

Apartemen The Green Pramuka
Menurut Ketua Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS), Widodo Iswantoro, penghuni sangat tidak nyaman dengan keputusan sepihak pengembang yang menerapkan rupa-rupa biaya tanpa berkonsultasi terlebih dulu dengan perwakilan penghuni. Sesuai aturan satu tahun setelah serah terima pemilik unit atau satuan rumah susun (sarusun) membentuk P3SRS.
“Sekarang ini pengelolaan gedung dilakukan anak perusahaan pengembang yang sudah berjalan selama empat tahun. Dia masih mau mengeruk uang dari pengelolaan gedungnya dengan menerapkan rupa-rupa biaya seenaknya,” ujar Widodo saat berbincang dengan housing-estate.com di Jakarta, Jumat (8/4).
Warga sebetulnya tidak memasalahkan pengelolaan dilakukan oleh pengembang selama hal tersebut untuk kenyamanan seluruh penghuni. Namun faktanya beban penghuni kian berat karena pengelola menaikkan iuran pengelolaan lingkungan (IPL) dari Rp13,5 ribu/m2/bulan menjadi Rp17 ribu/bulan mulai 1 April 2016. Selain itu parkir yang tadinya dialokasikan tiga basement untuk penghuni menjadi satu basement dengan biaya member Rp200 ribu/bulan untuk mobil dan Rp100 ribu motor. Satu lantai basement dan area ground dikenakan parkir berbayar dengan tarif Rp4 ribu/jam untuk mobil dan Rp2 ribu untuk motor.
Widodo menjelaskan penghuni juga dikenakan biaya fitting out apabila melakukan renovasi unit. Misalnya biaya service AC Rp33 ribu/unit, pasang breket TV Rp200 ribu, pasang cermin Rp50 ribu, wallpaper full dan pengecatan full Rp1,5 juta, dan pasang keramik Rp4 juta. Ini belum termasuk biaya pemasangan dan service-nya.
Sertipikat sarusun
Untuk menyelesaikan konflik warga dengan pengelola sudah beberapa kali mediasi dengan melibatkan kepolisian. Tapi semuanya berakhir buntu dan tidak memuaskan penghuni. Selain itu sertipikat sarusun bagi pemilik yang sudah membayar lunas juga belum diserahkan. Penghuni saat ini hanya memegang perjanjian pengikatan jual beli (PPJB).
“Sebagai penghuni kami hanya ingin kenyamanan, selama ini kami hanya menerima keputusan sepihak pengembang. Mereka selalu bilang merugi dalam pengelolaan lingkungan tapi tidak bisa menunjukkan berapa pemasukan dan kerugiannya. IPL yang diterapkan menurut kami untuk kategori apartemen mewah sementara di sini rumah susun sederhana milik (rusunami),” imbuhnya.
Di tempat terpisah, Yohanes Efaldus, Property Manager PT Mitra Investama Perdana, pengelola Green Pramuka, menjelaskan, kenaikan IPL dilakukan karena peningkatan hunian yang sudah mencapai 60 persen dari empat tower yang sudah dihuni. Selain itu ada kenaikan biaya operasional, inflasi, kenaikan gaji karyawan, dan tingginya asuransi gedung. Ia menjelaskan pengelolaan oleh pengembang merupakan tahapan yang harus dilalui.
“Syahnya pembentukan P3SRS baru bisa dilakukan setelah ada sertipikat hak milik satuan rumah susun (SHMSRS) atau pengesahan akta pemisahan atau pertelaan. Ini baru bisa dilakukan setelah seluruh unit terbangun sementara kita baru membangun 8 tower dari rencana 17 tower, jadi perkiraannya baru 5 tahun lagi prosesnya bisa selesai,” katanya.