Housing-Estate.com, Jakarta – Rencana pemerintah menerapkan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) sektor properti dengan menurunkan batasan harga dan luas obyek mendapat tanggapan minor dari masyarakat dan pelaku industri properti. Sebelumnya, properti yang terkena pajak barang mewah untuk rumah luasnya di atas 350 m2 dan apartemen seluas 150 m2 atau harganya di atas Rp10 miliar. Nanti kalau aturan baru berlaku, rumah dan apartemen yang harganya di atas Rp2 miliar, akan terkena pajak barang mewah.

Ilustrasi
Menurut Nuzul Achjair, Peneliti Senior Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI), karena cukup sensitif penerapan ketentuan baru ini perlu kajian lebih mendalam. “Jangan sampai maksud pemerintah menambah pendapatan pajak hasilnya malah sebaliknya karena masyarakat tidak mampu (membayar),” ujarnya kepada housing-estate.com di Jakarta, Senin (9/3).
Nuzul menyebut pada era Menteri Keuangan Sri Mulyani, pajak korporat sebesar 30 persen diturunkan menjadi 25 persen untuk memperbesar tax rate. Hasilnya pemerintah bisa mendapatkan penerimaan pajak lebih besar. Namun, apabila pemerintah ngotot menerapkan batasan baru itu, menurut Nuzul, sebaiknya besaran pajaknya tidak dibuat kaku 20 persen.
“Ini terlalu drastis, masyarakat malah kaget. Sebaiknya dibuat progressive tax (pajak progresif), jadi diberlakukan berjenjang misalnya per 5 persen ke atas untuk setiap kategori dari ukuran properti yang terhitung mewah. Ini juga untuk menghindari pengembang melakukan akal-akalan seperti pada aturan loan to value (LTV) untuk rumah berukuran 70 m2 dibuat 69 m2 agar terhindar dari kewajiban,” jelasnya.
Karena itu sekali lagi harus dibuat kajian mengenai responsiveness untuk aturan baru yang akan diterapkan ini, karena saat ini Nuzul menganggap pemerintah pun belum tahu apa dampaknya. Jangan sampai nanti hal ini malah menjadi bumerang karena itu semua pihak harus duduk bersama membuat kajian yang lebih mendalam.
Terkait dengan pengembang yang kerap kali mengakali aturan, menurut Nuzul hal ini harus dibedakan antara kepatuhan pajak dengan kriteria pajak. “Yang nakal terapkan aturan tegas misalnya dengan denda yang besar. Kita fair saja, makanya menurut saya dibuat progressive tax biar lebih fair dan nggak perlu diakal-akali lagi,” tandasnya.