Kebanyakan investor berasal dari Jepang dan China.
Housing-Estate.com, Jakarta – Developer asing berinvestasi di Indonesia bukan cerita baru. Kebanyakan sebagai mitra strategis (pemegang saham) perusahaan pengembang lokal, baik membeli langsung maupun hasil konversi utang menjadi saham. Tapi kemudian menjadi pengembang aktif, kendati tetap bermitra dengan developer lokal. Umumnya mereka pengembang besar dan ternama di negara masing-masing. Tahun 1997 misalnya, Premier–Les Nouveaux Constructeurs SA (Premier) asal Perancis, masuk ke Jakarta dan sekitarnya (Jabodetabek) menggarap perumahan menengah atas.
Tahun 2008 Keppel Land (Singapura) datang menggarap perumahan Jakarta Garden City (270 ha), Cakung-Jakarta Timur, yang semula ditangani PT Modernland Realty Tbk. Jauh sebelumnya bermitra dengan PT Pulomas Jaya, Keppel Land mengembangkan sebuah apartemen di Pulomas-Jakarta Timur. Ada juga Tong Yang Major Corp (Korsel) yang menggarap beberapa perumahan kecil di Bintara (Bekasi-Jawa Barat) dan Ciputat (Tangerang Selatan-Banten) setelah krisis moneter 1998.

Ilustrasi
Kemudian Metro Ikram (Malaysia) dengan proyek perumahan menengah bawah di Pondok Melati (Bekasi), serta Tokyu Land Co Ltd (Jepang) yang men-develop apartemen Sky Garden di Setiabudi (Kuningan-Jakarta Selatan) berpartner dengan PT Jakarta Setiabudi Internasional Tbk, setelah jauh sebelumnya mengembangkan perumahan Taman Sakura di Jatiasih (Bekasi) bermitra dengan PT Hatmohadji dan Kawan.
Tiga tahun terakhir masuknya pengembang asing itu makin marak. Kebanyakan dari Asia Timur seperti Jepang, China, dan Hongkong. China Sonangol Land misalnya, mengakuisisi eX Plaza di kawasan pusat bisnis (SBD) Jakarta, Jl MH Thamrin, dan meredevelopment– nya menjadi kawasan terpadu (mixed use development) berisi apartemen strata (kondominium), apartemen servis, menara perkantoran, dan area ritel. Bermitra dengan Sampoerna Group, Sonangol juga membangun dua menara baru Sampoerna Strategic Square seluas 234 ribu m2 di atas lahan 3,5 ha di CBD Jl Jenderal Sudirman.
Segmen premium
Sedangkan Hongkong Land Holdings Ltd berpartner dengan PT Brahmayasa Bahtera (Astra International Group), membangun mixed use development Anandamaya di Jl Jenderal Sudirman, berisi kondominium, menara perkantoran dan hotel. Bersama PT Jakarta Land (Central Cipta Murdaya Group), Hongkong Land juga memiliki kawasan perkantoran premium Wisma Metropolitan I–II dan World Trade Centre I–II di Jl Jenderal Sudirman, dan berencana menggarap kawasaan terpadu seluas 40 ha di Kemayoran, Jakarta Pusat.
Tidak berhenti di situ, bermitra dengan PT Bumi Serpong Damai Tbk (Sinarmas Land), Hongkong Land mengembangkan kawasan hunian terpadu 67 ha di kota baru BSD City (6.000 ha), Serpong-Tangerang Selatan (Banten). “Hongkong Land membeli lahan itu senilai Rp1,3 – 1,4 triliun,” kata Sekretaris Perusahaan PT BSD Tbk Hermawan Wijaya kepada wartawan awal 2013. Porsi saham 51:49 untuk BSD.
Akhir Agustus proyek di CBD BSD City itu diperkenalkan ke pasar dengan nama NavaPark, berisi rumah tapak (sekitar 300 unit), vila resor serta apartemen bertingkat sedang dan tinggi (masing-masing sekitar 2.500 dan 2.000 unit). Kawasan dilengkapi ruang terbuka hijau 3 ha dan kebun raya 7,4 ha selain taman lingkungan di setiap klaster. Ada juga country club di pulau buatan seluas 2,4 ha berisi beragam fasilitas rekreasi, hiburan, olah raga, dan ruang pertemuan. Tahap awal diluncurkan hunian (residential) seharga Rp4–8 miliaran/unit.
Hongkong Land adalah pengembang besar asal Hongkong yang berdiri tahun 1889, dan sudah memiliki puluhan proyek di Singapura, Vietnam, Malaysia, Thailand, dan Kamboja selain di Hongkong dan kota-kota besar di China.
Dengan menggandeng Hongkong Land, Sinarmas Land berharap NavaPark memiliki nilai tambah lebih tinggi. “Segmen pasarnya (harus) lebih premium supaya tidak kanibal dengan rumah yang dikembangkan BSD sendiri,” kata Ishak Chandra, Managing Director Corporate Strategy and Services Sinarmas Land, seperti dikutip housing-estate.com.
Standar Jepang
Jepang tak mau ketinggalan. Menyusul meningkatnya perekonomian Indonesia (nomor 16 di dunia dari sisi PDB), dan makin besarnya investasi Jepang di bidang manufaktur (terutama otomotif dan elektronik serta industri terkait) di sini, para pengembangnya
Kualitas Lebih Bagus
Selain mempercepat pengembangan proyek dengan dana segar dari luar negeri, keberadaan investor asing terutama diniatkan untuk meningkatkan nilai tambah proyek sekaligus mengangkat nama developer lokal di tingkat global. “Ke depan kompetisi akan berlangsung global. Kita perlu tahu standar best practice perusahaan global, supaya kita juga siap berkompetisi secara global. Jadi harapan kita lebih pada transfer know how dari mitra asing itu ketimbang dananya Kalau hanya dana, banyak cara mendapatkannya, tidak harus dari asing,” kata Agussurja. Itulah kenapa asing yang diajak bermitra dipilih dari negara maju dan sudah punya nama besar di negaranya.
Olivier Mitterrand, Chairman Premier, dalam sebuah wawancara dengan HousingEstate mengatakan, developer global bekerja lebih sistemik dan well organized. Pilihan lokasi misalnya, dipelajari seksama baik fisik, legalitas, akses, maupun kondisi lingkungan, fasilitas publik di sekitarnya, dan penerimaan pasarnya. Pengembangan proyek benar-benar disesuaikan dengan target pasar: rapi, bersih, dan berkelas. Desain rumahnya tidak hanya ngetren tapi juga memenuhi aspek fungsional arsitektural. Pembuatan site plan dan block plan, pemilihan arsitek dan kontraktor, pemakaian bahan bangunan, sampai pemasaran dan layanan purna jual, juga terorganisasi dengan baik.
Bahan bangunannya hampir seluruhnya produk lokal, termasuk jasa perancang dan kontraktor. Tapi finishing produk lebih berkualitas dengan garansi pasca serah terima lebih lama. “Jadi keberadaan kami (investor asing) juga memberikan transfer of knowledge untuk bisnis real estate di sini,” ujar Olivier. Premier bekerjasama dengan pemilik tanah dalam pengembangan semua proyeknya di Jabodetabek. Premier bertindak sebagai lead, pemilik tanah menjadi pemegang saham minoritas.
Tapi dalam kasus mitra asing menjadi minoritas pun, developer lokal mendengarkan dengan takzim masukan dan rekomendasi mereka dalam pengembangan proyek. “Karena itu tadi, kita perlu transfer know how mereka. Selain itu walaupun minoritas, tapi kan minoritas besar (49%),” kata Agussurja. Jangan heran proyek-proyek yang ada nama asingnya itu cepat laku. “Pasar percaya pasti kualitasnya juga bagus,” ujar Aldi Garibaldi, Senior Associate Director perusahaan konsultan properti PT Colliers International Indonesia.
Kendati demikian tidak selalu nama besar asing membawa kisah sukses. Premier setelah 17 tahun memang eksis dan berhasil mengembangkan lebih dari 30 perumahan. Semuanya perumahan berskala di bawah 20 ha untuk kaum atas di Jabodetabek. “Kuncinya, memahami pasar dan fokus,” kata Olivier. Namun Keppel Land, setelah enam tahun memutuskan “mengembalikan” perumahan Jakarta Garden City kepada Modernland Realty pertengahan tahun ini. Begitu juga Metro Ikram (Malaysia), muncul sebentar, setelah itu tak terdengar lagi.
Masih Akan banyak
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat, penanaman modal asing di bisnis properti tahun 2012 mencapai USD1,170 miliar (sekitar Rp11,5 triliun), melesat hampir tiga kali kali lipat dibanding tahun 2011 yang baru USD440 juta (sekitar Rp4,3 triliun). Setelah itu realisasinya naik turun tapi tetap jauh lebih tinggi dibanding tahun 2011. Tahun ini realisasi investasi asing langsung itu masih meningkat signifikan, mencapai hampir Rp120 triliun (Januari–September) atau naik hampir 20% dibanding 2013. Sementara total investasi langsung asing dan domestik periode yang sama mencapai Rp342,7 triliun atau naik 16,8%, melampaui target tahun ini yang hanya 15%. Tidak disebutkan berapa porsi investasi asing di bisnis properti dari total investasi itu.
Yang jelas, menurut Willson Kalip, Country Head PT Willson Property Advisindo (Knight Frank), tahun ini lima developer Jepang akan masuk ke Indonesia. “Kelimanya terbilang dalam 10 besar perusahaan developer di Jepang dan sudah tbk (go public). Dua developer sudah berinvestasi di Indonesia sebelumnya, tiga lainnya pendatang baru. Setiap developer menanamkan duit 50 juta dolar di proyek reidensial, perkantoran, dan hotel. Pengembangan proyeknya dimulai tahun depan, bekerjasama (joint venture) dengan developer lokal. Tapi saya belum bisa menyebut nama perusahaannya,” tuturnya.
Ia menyebutkan, developer asing sangat berminat berinvestasi di Indonesia karena melihat ekonominya yang terus tumbuh, politik stabil, dan populasinya besar. Jepang terbilang paling agresif karena memiliki banyak investasi di Indonesia. Jadi mereka paling paham prospek negara ini ke depan. Mereka fokus di Jabodetabek karena di megapolitan itulah kebanyakan investasi mereka berada. Semua mengakui, infrastruktur yang buruk menjadi kelemahan Indonesia dan sangat perlu dibenahi. “Tapi asing tetap masuk karena melihat future kita. Kendati pelan, mereka melihat ada perbaikan infrastruktur,” kata Agussurja.
Sumber: Majalah HousingEstate
atau
Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.