Housing-Estate.com, Jakarta – Pemerintah tengah menggodok aturan perpajakan baru untuk sektor properti. Properti yang menjadi obyek PPnBM (Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah) batasannya diubah menjadi lebih ketat. Sebelumnya untuk rumah tapak (landed house) yang terkena PPnBM luas bangunannya 350 m2, sedangkan apartemen 150 m2 atau senilai Rp10 miliar. Aturan yang baru nanti batasannya diturunkan menjadi Rp2 miliar, sedang batasan luasnya sama.

Menkeu Bambang PS Brodjonegoro
Perubahan beleid ini, menurut Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro, karena sangat banyak pajak-pajak terkait sektor properti yang belum dipungut. Dengan beleid baru ini apartemen-apartemen menengah atas yang luasnya kurang dari 100 m2 bakal kena PPnBM karena rata-rata harganya di atas dua miliar.
“Transaksi properti itu mencapai Rp400 triliun, tapi pajak yang diterima hanya Rp30 triliun. Kalau berdasarkan PPH 5 persen, PPN 10 persen, BPHTB 5 persen, mestinya negara terima Rp80 triliun, kenyataannya sangat jauh, makanya mau diperbaiki,” ujarnya kepada housing-estate.com di Jakarta, Senin (16/3).
Pajak properti, imbuh Bambang, belum optimal dan belum terawasi secara maksimal padahal ada pajak-pajak yang harus dibayarkan seiring terjadinya transaksi properti. Misalnya pajak peralihan kepemilikan apartemen tidak pernah termonitor dengan baik. Aturannya, peralihan hak milik maupun sewa atas suatu properti dikenakan pajak.
Dengan begitu, penjual properti dikenakan pajak penghasilan sementara pihak penyewa juga dikenakan pajak pertambahan nilai. “Jual apartemen ke orang lain itu kena PPh 5 persen dari nilai jualnya, meyewakan juga kena PPN. Banyak pajak yang bisa di-collect tapi tidak ter-collect karena informasinya nggak ada,” urainya.
Karena itu sebagai upaya optimalisasi penerimaan pajak, Bambang menghimbau para pengusaha properti menyampaikan data transaksi penjualan produknya secara transparan. Hal ini juga yang tengah dilakukan oleh Kemenkeu terkait data penjualan properti khususnya di Jakarta yang harganya sudah sangat luar biasa tinggi dalam rangka optimalisasi penerimaan pajak.
Terkait dengan penerapan pajak properti mewah (PPnBM), hal ini akan dipastikan bukan lagi berdasarkan besar ataupun kecilnya unit yang dijual. Menurut Bambang, kriteria ini sudah tidak relevan lagi karena di luar kota apartemen berukuran 200 m2 mungkin harganya bisa murah, tapi di pusat kota yang prime location ukuran 60 m2 harganya bisa berlipat-lipat.
Selama ini kita kurang pas mendudukkan pajak properti, makanya kriterianya kita ubah berdasarkan nilai. Saat ini saya sudah minta tim pajak untuk me-review berapa nilai yang pas untuk menggambarkan mewah atau tidak untuk properti yang terkena PPnBM, yang pasti tidak boleh lagi seperti selama ini,” tegasnya.