Housing-Estate.com, Jakarta – Knight Frank, sebuah perusahaan konsultan global, mengingatkan semua pihak agar tidak memandang properti sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Sebab, pandangan demikian akan menempatkan properti sebagai komoditas yang hanya mengikuti logika pasar. Pertumbuhan sektor properti yang luar biasa di kota-kota besar dan meningginya harga merupakan indikator positif bagi perekonomian sebuah negara.
Tapi, menurut Wilson Kalip, Country Head Knight Frank, properti tidak seperti sektor bisnis lain karena sektor ini memiliki dampak sosial kuat. Idealnya kenaikan harga properti sejalan dengan pertumbuhan ekonomi di negara bersangkutan. Nyatanya di sejumlah kawasan Indonesia kenaikan harga propertinya ada yang sampai 30-40 persen per tahun.
“Seharusnya properti dijadikan salah satu sektor pendukung, bukan engine pertumbuhan ekonomi. Kalau tidak demikian yang kaya akan semakin kaya, sementara masyarakat berpendapatan rendah semakin sulit untuk membeli rumah karena kenaikan harga rumah tidak terkejar penghasilannya,” kata Wilson.
Kalau peringatan itu sulit ditindaklanjuti karena properti memang sudah kadung menjadi komoditas Indonesia bisa meniru negara tetangga Singapura. Di Singapura rumah bagi kalangan menengah bawah dibangun dan disediakan pemerintahnya melalui lembaga Housing Development Board (HDB). Sebanyak 85 persen warga negara Singapura tinggal di hunian yang disediakan HDB. Properti komersial diserahkan pada hukum pasar tidak menjadi soal karena mayoritas warganya sudah terlindungi. “Di sini peran pemerintah harus besar untuk melindungi masyarakat, karena kalau situasi seperti ini dibiarkan dampaknya bisa sangat buruk bagi perekonomian,” ujarnya. Yudis
