Indonesia Property Watch menerima 43 pengaduan properti sejak Januari hingga Februari 2014 yang hingga kini belum diberikan sanksi.
“Banyak pengadu meminta keadilan karena tercatat 150 pembeli dibatalkan akibat pailit,” kata Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin.
Ali menyebutkan jenis pengaduan itu di antaranya mafia pailit sebanyak delapan kasus untuk apartemen (18,6 persen), molornya serah terima, apartemen tiga kasus dan rumah empat kasus (16,3 persen) serta sengketa pengurus pengelola rumah susun (PPRS) sebanyak lima kasus untuk apartemen (11,6 persen).
“Untuk mafia pailit ini ada dugaan yang menuntut pailitnya orang-orang itu juga, yang mengambil lagi ‘partnernya’ dengan harga murah. Yang berperan adalah hakim, kurator dan pengembang, makanya disebut sebagai mafia,” katanya.
Selain itu, pengaduan lain yang semuanya melibatkan rumah, di antaranya pertanahan empat kasus (9,3 persen), sengketa fasum fasos (7,0 persen), komplain mutu bangunan (7,0 persen), lingkungan (7,0 persen), sistem pembayaran (4,7 persen) dan lain-lain (9,3 persen).
Lain-lain di antaranya, Ali menjelaskan, yakni pengembang menjaminkan tanah ke pihak bank, sehingga tanah tersebut disita oleh pihak bank.
Dari segi wilayah, pengaduan paling banyak di Jakarta, yakni sebanyak 17 kasus (39,5 persen), Bodetabek 16 (37,2 persen), Jawa (18,6 persen) dan luar Jawa dua (4,7 persen).
Ali mengatakan sebagian besar bermasalah bukan pada pascapembelian, tetapi pada serah terima karena tidak semua mengerti terkait properti.
“Secara hukum, konsumen kita ‘bargainingnya’ (tawar-menawarnya) lemah, makanya banyak yang molor sampai dua tahun,” katanya.
Untuk itu, dia saat ini tengah berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kasus “mafia pailit”.
Dia juga meminta Kementerian Perumahan Rakyat untuk menutup atau mencoret pengembang yang melakukan mafia pailit tersebut.
“Kartu kredit saja dua bulan enggak bisa, di-’blacklist’ ini masa enggak bisa ‘blacklist’, masalahnya mau atau tidak. Undang-undang pailit kita lemah, banyak kasus diselesaikan ‘di bawah meja’,” katanya.
Dia juga meminta dibentuknya kembali kelompok kerja (Pokja) untuk mengawasi terkait pembelian properti tersebut.Ant.