Housing-Estate.com, Jakarta – Rumah susun (rusun) menjadi solusi untuk menyediakan hunian murah di perkotaan khususnya di kota besar atau metropolitan. Tapi pilihan ini tidak mudah diwujudkan karena terbentur ketersediaan tanah. Kalau pun tanahnya tersedia harganya terlampau mahal sehingga tidak dimungkinkan dibangun rusun. Kendala ini tidak perlu ada seandainya pemerintah dapat mewujudkan bank tanah (land bank).

Pembangunan Rumah Susun
Kendati sudah ada UU/4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman yang di dalamnya ada ketentuan pembentukan land bank, yaitu Kawasan Siap Bangun/Lingkungan Siap Bangun (Kasiba/Kasiba), payung hukum itu gagal ditindaklanjuti. Beberapa bulan lalu Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), melontarkan pembentukan landbank, tapi sekarang wacana tersebut tenggelam lagi.
Untuk memecah kebuntuhan itu Dirjen Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kemenpupera) Lana Winayanti, mengusulkan agar dalam pembangunan hunian vertikal di perkotaan dipisahkan stastus tanah dan bangunannya. Dengan cara ini pembangunan rusun murah bisa dilakukan di atas tanah negara, tanah wakaf, dan lainnya yang tanahnya tidak boleh diperjualbelikan.
“Cara itu membuat harga rumah menjadi terjangkau nilai tanahnya tidak dihitung. Yang penting masyarakat punya kepastian bermukim (security of tenure) jangka panjang sehingga bisa dibuat konsep sertifikat kepemilikan bangunan gedung (SKBG). Dengan konsep SKBG ini bisa menjaga ketersediaan pasokan tanah karena tanahnya tetap menjadi milik negara,” terangnya kepada pers di Kantor Kemenpupera Jakarta, Senin (8/5).
Untuk mewujudkan gagasan ini butuh dukungan pemerintah daerah (Pemkab/Pemkot) karena yang mereka yang bisa menerbitkan SKBG. Perbankan juga perlu duduk bersama karena selama ini hak tanggungan selalu mengaitkan dengan kepemilikan tanah. Konsekwensi ide ini pemberian KPR tidak lagi menggunakan jaminan tanah. Lana menyebutkan gagasannya itu ada landasannya, yaitu UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP). Di pasal 1 UU tersebut dinyatakan bahwa masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) punya keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memeroleh rumah. “Ini artinya terkait hal teknis mengenai program rumah murah harus terus didorong khususnya oleh pemerintah daerah,” imbuhnya.