Saturday, September 23, 2023
Google search engine
HomeUncategorizedHimawan Arief Sugoto Kita Belum Merdeka Dari Sisi Perumahan

Himawan Arief Sugoto Kita Belum Merdeka Dari Sisi Perumahan

Housing-Estate.com, Jakarta – Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) dibentuk tahun 1974 untuk membangun rumah menengah bawah (public housing). Untuk itu pemerintah mendukung dengan kebijakan, program, dana murah, lahan, infrastruktur, akses, dan lain-lain sehingga rumah bisa dijual murah (intervensi supply side). Waktu itu belum ada KPR bersubsidi dan insentif pajak (intervensi demand side). Sampai tahun 1990 misi itu sukses dijalankan Perumnas.

Klender (Jakarta), Bekasi dan Depok (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Helvetia (Medan), Ilir Barat (Palembang), Banyumanik (Semarang), Tamalanrea (Makassar), Dukuh Menanggal (Surabaya), Antapani dan Sarijadi (Bandung), adalah contoh-contoh permukiman skala besar yang berhasil dibangun Perumnas.

Himawan Arief Sugoto

Himawan Arief Sugoto

Kini semua perumahan itu berkembang menjadi kota-kota baru yang kemudian memicu pengembangan perumahan dan properti komersial oleh pengembang swasta. Tapi awal 1990 pemerintah menghentikan dukungan dan mengundang keterlibatan pengembang swasta dalam pengadaan rumah murah selain Perumnas. Untuk itu pemerintah menyediakan KPR bersubsidi dan insentif pajak. Sejak itu peran Perumnas dalam pengadaan rumah rakyat berangsur meredup.

“Sejak tahun 1993 kita sepenuhnya memakai dana komersial. Padahal margin membangun rumah bersubsidi sangat tipis,” kata Direktur Utama Perumnas Himawan Arief Sugoto (51). Bahkan pengelolaan 5.000 unit lebih rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di berbagai kota, yang merupakan penugasan pemerintah untuk mengentaskan kawasan kumuh, selalu merugi. Harga sewanya ditetapkan pemerintah agar terjangkau warga hasil relokasi.

“Setiap tahun kita subsidi Rp15 miliar. Yang paling rugi rusunawa di Cengkareng dan Kemayoran (di Jakarta) karena paling banyak. Minta PSO (public service obligation) nggak pernah dikasih. Kita naikin sewanya, digugat di pengadilan dan kalah. Padahal kalau disensus ketahuan penghuninya (bukan lagi warga miskin),” ujarnya. Kesulitan Perumnas mencapai puncaknya saat krisis ekonomi 1998 yang berlanjut sampai hampir satu dekade setelah itu. “Waktu masuk tahun 2007 akumulasi kerugian kita Rp128 miliar, organisasi terlanjur gemuk, karyawan 3.000 orang, omzet hanya Rp200 miliar, cash flow bleeding, hanya cukup untuk gaji 1,5 bulan,” ungkapnya.

Tahun lalu Perumnas berhasil meraih omzet Rp1,2 triliun, laba Rp94 miliar, dan cadangan kas Rp500 miliar, dari pembangunan 14.800 unit rumah di tujuh regional. Sekitar 90 persen berupa rumah tapak, rumah susun baru sedikit. Sejak tahun 2012 BUMN beraset Rp3 triliun ini sudah masuk 50 BUMN dengan keuangan yang baik (skor di atas 75 atau A). Tiga tahun ke depan Perumnas akan merilis 25 – 27 proyek di Medan, Palembang, Pontianak, Jakarta, Karawang, Bandung, Cianjur, Semarang Surabaya, Malang, dan Makassar, dengan total omzet Rp10 triliun.

Sekitar 7–8 proyek dikerjakan PT Propernas Griya Utama (anak perusahaan Perumnas), empat bekerjasama dengan swasta, sisanya yang bersubsidi oleh Perumnas. Tahun ini targetnya bisa membangun 18 ribu rumah dengan omzet Rp1,4 triliun dan laba Rp105 miliar. Proyek komersial pertama yang sudah sepenuhnya dikerjakan Propernas adalah mixed use development (kawasan properti yang memadukan dua atau lebih fungsi seperti apartemen, perkantoran, hotel, mal, dan ruko di satu lokasi) Sentraland Semarang yang sudah memasuki tahap pemancangan tiang pertama (ground breaking).

Menteri BUMN mengapresiasi prestasi Himawan dan mendapuknya kembali menjadi dirut 2012–2017. Tapi sejumlah politisi dan pengembang, bahkan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) justru mengritiknya. Pertengahan Juni lalu Menpera melaporkan Perumnas dan puluhan pengembang lain ke polisi dan kejaksaan, karena dianggap tidak memenuhi kewajiban membangun public housing sesuai konsep lingkungan hunian berimbang (LHB) yang diamanatkan UU No 1/2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman.

“Perumnas sudah kayak konglomerat. Enak aja tanah disediain negara, tapi dia jual komersial. Mending tanahnya kasih Kemenpera, (Perumnas) dibubarin, suruh jadi developer,” kata Menpera Djan Faridz. Berikut perbincangan Yoenazh Khairul Azhar, Yudiasis Iskandar, dan fotografer Susilo Waluyo dari majalah HousingEstate dengan Himawan di kantornya di bilangan Cawang, Jakarta Timur, mengenai kiprah Perumnas lima tahun terakhir.

Bagaimana anda ditunjuk memimpin Perumnas?

Perumnas dibentuk untuk membangun public housing. Kita sudah membangun di lebih 400 lokasi di lebih 180 kota. Kita menjadi lokomotif dan pionir pengembangan kota sekaligus stabilisator harga rumah. Dulu Menpera minta acuan harga rumah dari kita sehingga dipastikan harga jualnya tidak mahal. Saat itu market share kita 25 persen sehingga bisa memengaruhi pasar. Developer swasta sulit (minta kenaikan harga semaunya). Kita bisa seperti itu karena pemerintah mensupport Perumnas dari sisi suplai.

Awal tahun 90-an support itu tak ada lagi. Pemerintah meng-endorse swasta berkontribusi (membangun public housing). Perumnas yang terbiasa dengan penugasan menghadapi situasi sulit. Kita harus tetap hidup dan menjalankan misi, tapi kondisi sudah berubah, organisasi terlanjur besar, proyek menyusut, kita tidak terbiasa meng-create bisnis, berhitung untung rugi, karena biasanya dikasi lahan, dana, diberi penugasan. Kesulitan itu mencapai puncaknya saat krisis moneter 1997 – 1998.

Lalu terjadilah penyegaran manajemen. Pemerintah ingin Perumnas berperan lagi tapi juga harus tumbuh. Masuklah kami-kami dari luar. Kita menata Perumnas dari kondisi yang sangat sulit itu. Tahun 2012 kerugiannya mulai hilang, pertumbuhan pembangunan kita kembali naik. Tahun 2010 kita bisa membangun 8.000 rumah, kemudian 10 ribuan tahun 2011, tahun lalu hampir 15 ribu. Tahun ini total kontrak kita sudah di atas 15 ribu unit. Dari jumlah itu rumah komersial hanya 20 persen, 80 persen rumah menengah bawah. Jadi mengacu pada konsep LHB 1:2:3 (pengembangan satu rumah mewah harus diiringi dua rumah menengah dan tiga rumah bersubsidi), 80 persen rumah Perumnas ada di 3, yang 2 hanya 20 persen, yang 1 malah nggak ada. Karena itu kita heran kenapa dilaporkan ke polisi.

Target anda setelah ditunjuk menjadi dirut lima tahun berikutnya?

Sekarang dengan asumsi suplai rumah menengah bawah 100 ribu unit per tahun, market share kita baru 15 persen. Maunya kita market share 30 persen supaya bisa mempengaruhi pasar dan menjadi stabilisator harga. Rakyat tidak harus membeli di tempat lain, karena harga kita lebih murah. Mereka tinggal daftar dan antri. Mereka pasti nggak keberatan karena beda harganya signifikan. Sekarang walaupun beda harga rumahnya jauh, pengaruhnya hampir nggak ada. Developer swasta minta kenaikan harga patokan terus karena suplai kita hanya sedikit.

Karena suplai sedikit, kita juga kurang didengar di legislatif dan eksekutif. Padahal rasanya beberapa bulan ini statement saya kerasnya udah kayak apa. Ibaratnya kalau PT KAI karena nggak ada pesaing dia punya bargaining, kalau dia nggak jual kereta ekonomi dan orang teriak, direksinya tinggal bilang, saya sudah mengajukan (PSO untuk kereta ekonomi) tapi tidak disetujui. Pemerintah dan DPR akan kucurin. Sebaliknya kalau Perumnas tidak bisa bangun public housing, REI (asosiasi pengembang real estate, Red) bisa bangun. Selesai. Coba kalau suplai kita besar. Saya bilang, saya nggak bangun lagi nih (public housing), pemerintah pasti mau denger.

Keberpihakan penuh pemerintah menempatkan Perumnas seperti HDB (Housing Development Board) Singapura dan NHA (National Housing Authority) Thailand sebagai provider public housing itu penting. Perumnas itu anak hilang yang harus diberdayakan lagi. Kalau Bulog terima puluhan triliun tiap tahun (untuk menstabilkan harga beras), kita sejak 1993 tidak seperak pun. Padahal kita diminta membangun rumah rakyat (yang juga kebutuhan dasar). Kadang saya suka heran. Kalau ada TKI terancam dipancung, semua memberi perhatian, tapi soal rumah rakyat kok perhatian pemerintah sangat kurang? Apa rumah itu bukan prioritas? Kita kan belum merdeka dari sisi perumahan. Masih banyak yang tinggal di bantaran sungai, daerah kumuh.

Bagaimana cara pemerintah intervensi dalam situasi seperti sekarang?

Misalnya, kita punya tanah terlantar jutaan hektar. Dalam bayangan saya lahan itu bisa dipakai untuk pangan, cadangan strategis, dan perumahan. Mungkin lokasinya kebanyakan kurang bagus, tapi itu bukan persoalan. Kita mau mengembangkan kota atau rumah? Akses, infrastruktur, dan lain-lain bisa dibangun, depend on pemerintah. Depok dulu siapa yang mau ke sana. Tapi sekarang jadi kota. Terlalu sederhana menyerahkan soal perumahan hanya kepada Perumnas. Aset kita terlalu mini dibanding kebutuhan rakyat.

Di negara lain seperti China, Thailand, dan Filipina, perumahan itu langsung di bawah presiden, wapres, perdana menteri, supaya ada satu kesatuan dukungan kebijakan. Dulu kita juga begitu. Pak Cosmas menteri perumahan, tapi begitu bicara program perumahan, Pak Harto langsung yang pimpin, Perumnas yang jalankan. Pemerintah intervensi langsung dengan dana, lahan, kebijakan, program. Sekarang pemerintah hanya intervensi dari sisi demand. Kalau suplainya mahal, pemerintah tidak bisa apa-apa. Tapi sebagai dirut saya hanya bisa bicara kepada anda, tidak bisa langsung kepada orang nomor satu. Karena itu ketika diberi amanat saya kerjakan apa yang bisa dilakukan, membenahi Perumnas. Saya tidak mungkin hanya mengeluh.

Itu yang kemudian mendorong anda mengembangkan rumah nonsubsidi?

Ya, proyek-proyek yang bisa meng-generate profit supaya korporasi tetap sehat sekaligus bisa menjalankan misi. Karena kita belum punya uang, support dari pemerintah juga nggak ada, modal kita hanya lahan, awalnya kita jual beberapa stok tanah di lokasi yang bagus dengan harga diskon supaya bisa hidup enam bulan. Aset tanah lain seperti di Cengkareng (Jakarta Barat) dan Kemayoran (Jakarta Pusat) kita kerjasamakan dengan pengembang swasta. Yang di Pulo Gebang (Jakarta Timur) sempat kita tawarkan kepada sebuah BUMN, tapi dia minta Rp40 miliar untuk bangun fly over, karena katanya itu masih daerah jin buang anak. Akhirnya kita cari private developer dapatlah Bakrieland. Kami lapor ke Wapres (Jusuf Kalla). Jalan. Sekarang (dengan adanya mixed use development Sentra Timur berisi rumah susun sederhana itu) Pulo Gebang jadi ramai. Sembari itu kita juga belajar.

Kini kinerja Perumnas sudah bagus?

Tadinya kita termasuk 10 – 20 BUMN paling bermasalah. Pilihannya waktu itu masuk PPA (PT Perusahaan Pengelola Aset, metamorfosis Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN, Red) atau menyehatkan diri sendiri. Kalau mau sehat sendiri, saya bilang, ikuti jalan saya. Sekarang kita sudah sehat, bisa memperbaharui kantor, kendaraan, dan lain-lain. Dulu bank nggak percaya, sekarang antri (mau memberi kredit), karena melihat kinerja dan bisnis kita. Developer yang pendapatannya sustain Rp1 triliun ke atas di Indonesia nggak lebih dari 12 perusahaan, Perumnas ranking tujuh. PT Sentul City Tbk (pendapatan faktualnya) hanya Rp800 miliar. Waktu saya masuk kantor pusat ini saja dijaminkan.

Karyawan juga tinggal 1.150 orang. Untuk empat yang pensiun, kita rekrut satu pengganti. Tenaga muda kita sudah 300 orang. Penghasilan karyawan juga sudah 80 persen gaji rerata BUMN. Dengan omzet baru 15 ribu unit per tahun, karyawan 1.150 itu memang belum ideal (masih harus dikurangi, Red). Omzet per kepala masih Rp1 miliaran. Kalau bicara profit oriented murni idealnya Rp3 miliaran, tapi untuk Perumnas Rp2 miliaran saja sudah bagus. Semua pencapaian itu tanpa suntikan dana dari pemerintah. Perumnas survival dan sehat sendiri. Coba berapa triliun buat Garuda, PLN, Merpati. Garuda bisa terbang lagi, PLN kembali sehat, Merpati tetap nyungsep.

Padahal Menpera, Menteri BUMN, Menteri PU, semua bilang, pengembang sudah terlalu banyak, Perumnas diminta menjalankan tugas seperti dulu lagi membangun rumah rakyat atau menjadi national housing and urban development. Pak Dahlan (Menteri BUMN) mengapresiasi. Kalau nggak, saya nggak diperpanjang (jabatannya).

Selain pendanaan, Himawan menyatakan, peran Perumnas dalam pengadaan public housing sulit signifikan karena stok tanahnya terbatas: hanya 2.200 ha yang tersebar di berbagai daerah. Itu pun belum semua clean and clear kendati lokasinya bagus, aksesnya sudah ada. “Yang siap dikembangkan hanya 60 – 70 persen. Banyak tanah kita diduduki dan diklaim orang. Makanya kita meneken MoU dengan BPN, nanti juga dengan Kejaksaan Agung,” katanya.

Misalnya, dari 30 hektar lahan di Kemayoran, 14 hektar diduduki warga, di Pulo Gebang dari 30 hektar juga diduduki orang sebagian, di Cengkareng dari 4 ha sekitar satu hektar belum clean. “Ini masalah karena kadang kita bangun 50 hektar, ada 5.000 m2 saja yang diklaim, seluruh proyek bisa mandek karena 50 hektar itu satu sertifikat. Itulah pentingnya dukungan solid pemerintah,” ujarnya.

Setiap tahun Perumnas hanya bisa mengembangkan 200 ha lahannya. Untuk setiap 200 ha lahan terpakai seharusnya masuk lahan pengganti 600 ha. Kenyataannya yang diperoleh hanya 300 ha karena Perumnas harus membeli di pasar bebas seperti developer lain. Itulah kenapa untuk memperbesar stok lahan, Perumnas juga menjalin kerjasama dengan BUMN pemilik tanah. Saat ini misalnya, Perumnas merancang master plan kota baru seluas 850 ha di atas tanah milik PTPN II di Medan.

Di atas tanah itu rencananya dibangun 17 – 18 ribu rumah sederhana dengan target utama karyawan PTPN II, baru masyarakat umum. Dengan tambahan lahan 850 ha itu stok lahan Perumnas menjadi 3.050 ha. “Idealnya kita punya stok tanah 10 ribu hektar. Tidak beli karena pasti tidak mampu, tapi disediakan pemerintah sebagai bank tanah,” katanya. |

BIODATA

Nama : Himawan Arief Sugoto

Tempat & Tanggal Lahir : Solo, 27 April 1963

Pendidikan : Sarjana Teknik Sipil ITB 1990 dan Magister in Project Management UI 2001

Karir :

  • Dirut Perumnas 2007 – 2012 dan 2012 – 2017
  • Dirut PT Prosys Bangun Persada 2000 – 2008
  • Chief Operation Officer PT Prosys Bangun Nusantara 2000 – 2008
  • Project management consultant 1995 – 2000 – Representative & civil engineer Siraishi Corp (Japan) – general construction 1990 – 1995 overseas experiences

Sumber: Majalah HousingEstate

Dapatkan Majalah HousingEstate di toko buku atau agen terdekat. (Lihat: Daftar Retailer)
atau
Unduh versi digitalnya WayangForce, Scoop & Scanie.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -
Google search engine

Most Popular

Recent Comments