Housing-Estate.com, Jakarta – Properti banyak dijadikan instrumen investasi karena menjamin kenaikan nilai capital gain minimal setara dengan kenaikan inflasi. Khusus untuk rumah murah yang disubsidi oleh pemerintah, tipe ini bukan ditujukan untuk investasi walaupun kenyataannya secara nilai maupun harganya mengalami kenaikan juga.

Ilustrasi
“Bicara pengalaman kami di Malang, kami menjual rumah murah seharga Rp88 juta tahun 2012 untuk tipe 36/65. Tahun 2015 atau hanya tiga tahun saja, harga sekennya sudah berlipat menjadi Rp160 juta. Jadi rumah untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dalam tempo3-4 tahun harganya bisa berlipat juga,” ujar Umang Gianto, Komisariat Real Estat Indonesia (REI) Malang, kepada housing-estate.com saat menerima penghargaan HousingEstate Awards 2015 beberapa waktu lalu.
Umang yang juga Direktur PT Bulan Terang Utama, sejak tahun 2007 sudah mulai menjual rumah untuk kalangan MBR dan saat ini produksinya hampir mencapai 8.000 unit. Sejak tahun 2012 bila dirata-rata, perusahaannya menyuplai seribu unit rumah murah untuk kalangan MBR di Malang.
Program pemerintah yang memungkinkan MBR membeli rumah dengan uang muka 1 persen dan bunga KPR 5 persen selama tenor kreditnya, telah membuat pasar rumah murah menjadi sangat bergairah dan permintaannya meningkat tajam. Umang menyebut tinggal kreasi developer untuk mengembangkan proyek rumah murahnya seperti apa sehingga bisa dengan cepat diserap oleh konsumen.
“Kami sendiri selalu mencari lokasi tanah yang strategis kendati untuk dikembangkan sebagai rumah murah. Jadi tidak hanya sekadar membangun tapi kami memikirkan juga kemudahan untuk penghuni dengan lokasi yang harus strategis sekurangnya berada di jalan provinsi dan bukan pinggiran. Jadi tidak heran kalau harga rumahnya juga bisa naik 100 persen dalam waktu relatif singkat,” pungkasnya.