Housing-Estate.com, Jakarta – Pemerintah melalui Kementrian Perumahan Rakyat (Kermenpera) telah menaikkan patokan harga rumah bersubsidi dari Rp88-145 juta menjadi Rp105-165 juta. Penetapan harga tersebut didasarkan pada faktor kemahalan harga menurut Propinsi. Dalam Permenpera No. 4/2014 sasaran rumah sejahtera tapak (RST) dinaikkan dari kelompok berpenghasilan Rp3,5 juta menjadi Rp4 juta/bulan, sedangkan rumah sejahtera susun (RSS) dari kelompok berpenghasilan Rp5,5 juta menjadi Rp7 juta/bulan.
Kebijakan Kemenpera itu belum diikuti dengan pembebasan PPN yang kebijakannya di tangan Kementrian Keuangan. Menteri Perumahan Djan Faridz mengatakan, pengembang bisa langsung menerapkan harga baru ini tanpa menunggu pembebasan PPN dari Kemenkeu.
“Untuk biaya PPN-nya bisa dibebankan ke konsumen selama jangka waktu kreditnya diperpanjang jadi 15-20 tahun. Yang penting stok rumah yang ada bisa terserap oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” katanya di sela-sela acara pameran properti di Pontianak, Kalimantan Barat, awal pekan ini.
Penyesuaian harga ini mendapat sambutan positif dari kalangan pengembang yang sudah cukup lama menuntut penyesuaian harga mengingat beberapa tahun ini harga tanah dan bangunan naik cukup tinggi. “Harga baru ini hampir sama dengan tuntutan REI yang sangat dibutuhkan oleh pengembang. Selain itu perbedaan harga tidak dibagi lagi per zona tapi per provinsi, sehingga bisa lebih sesuai dengan wilayah masing-masing. Dengan patokan harga baru ini saya yakin akan lebih banyak RST yang dibangun pengembang,” ujar Eddy Hussy, Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI).
Eddy menyebutkan, untuk PPN yang belum mendapat persetujuan pembebasan dari Kemenkeu bisa dibebankan kepada konsumen atau diperhitungkan sebagai diskon sehingga harganya lebih murah. Kendati ada kenaikan harga bukan berarti semua developer akan menjual dengan harga patokan tertinggi.
Ketua DPD Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI) DKI Jakarta Ari T. Priyono mengharapkan, ke depan pemerintah tidak ambigu dalam menerapkan aturan. “Selama ini aturan pemerintah kerap tidak jelas yang membuat pengembang menanggung beban yang tidak sedikit,” tandasnya.
Ia mengaku heran kenapa kebijakan menaikkan harga ini tidak langsung diikuti dengan pembebasan PPN. Seperti dikemukakan Eddy, menurut Ary, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat pengembang belum tentu menerapkan patokan harga tertingggi. “Yang penting kita masih ada margin keuntungan,” kkatanya.
Edddy setuju pemerintah mendorong pembangunan RST di Jakarta yang sudah padat dan harga tanahnya mahal. Tapi untuk daerah-daerah yang lahannya masih luas seperti di luar Jawa atau kawasan pinggiran Jabodetabek tidak dapat dipaksakan membangun RST. “Subsidi itu memang harus diberikan kepada orang miskin, tapi sasarannya harus tepat. Kalau hunian vertikal, ya, di Jakarta, bukan di daerah lain,” ujarnya. Yudis