Housing-Estate.com, Jakarta – Booming properti di Tiongkok beberapa tahun lalu memunculkan banyak “kota hantu”. Sebutan itu layak diberikan karena kendati kota-kota baru itu sudah lengkap infrastrukturnya dan banyak gedung megah, tapi tidak berpenghuni. Salah satunya kota baru Kangbashi, beberapa kilometer sebelah selatan Ordos di Mongolia Dalam. Ordos sendiri salah satu daerah kaya dengan basis ekonomi pertambangan, batu bara dan gas. Kangbashi kini “kota hantu” terluas di Tiongkok.
Dari kapasitas lebih dari satu juta penduduk kota baru ini hanya dihuni sepersepuluhnya, atau sekitar 100.000 orang. Padahal untuk mewujudkan kota baru itu pemerintah Tiongkok menggelontorkan duit besar. Sudah dimulai pembangunannya sejak awal era Milenium, tahun 2000, pemerintah negeri “Tirai Bambu” ini sudah mengucurkan dana lebih dari 1 miliar dolar AS atau lebih dari Rp13,25 triliun.
Salah seorang fotografer Prancis, Raphael Olivier, mengabadikan keseharian di kota Tiongkok utara ini. Olivier menjulukinya kota yang sangat cantik, tapi penuh dengan kontradiksi. Julukan yang tepat. Di kota itu sudah berdiri sejumlah gedung berkapasitas besar dan berdesain indah, tapi tidak ada satupun yang menggunakan. Di sekeliling bangunan itu sudah ditumbuhi ilalang tinggi atau padang pasir. Kota ini digadang-gadang menjadi pusat budaya, ekonomi dan politik. Beberapa gedung yang direkam oleh Olivier antara lain sports center stadium, grand theatre, perpustakaan utama, masjid, pacuan kuda dan blok residensial. Koleksi bidikannya di kawasan seluas 355 km2 itu diberi judul “Utopia yang Gagal”, yang memberi gambaran nyata dari kota yang dibangun dengan penuh ambisius.
“Di sini ada Ordo Museum yang didesain oleh MAD Architects bergaya super modern edgy, blok-blok perumahan orang-orang Tiongkok modern dan proyek-proyek yang belum selesai dari Ordos 100, bahkan terlihat tak sedikit gedung-gedung yang dipengaruhi gaya arsitektur Soviet,” papar. Ordos 100 sendiri adalah sebuah proyek keroyokan yang dikomandani firma arsitektur Herzog & de Meuron yang berbasis di Swiss dan seniman Tiongkok, Ai Weiwei, bersama 100 arsitek dari 27 negara lain.

Gaya kerja seperti itu memang memungkinkan di Tiongkok, dan mungkin hanya bisa terjadi di sini. Maklum, meski berpaham komunis, tapi negeri ini punya banyak uang (pada saat itu) dan itu semua sudah cukup untuk menarik banyak arsitek dari segala bangsa. Menurut Olivier, walaupun orang asing melihat sepertinya kota itu terbengkelai, tapi warga Tiongkok masih berkeyakinan kalau kota ini akan terus dibangun.
Sumber: CNN