Housing-Estate.com, Jakarta – Bisnis properti di Indonesia masih menunjukan tren penurunan baik dari sisi harga maupun permintaan terutama untuk sektor apartemen dan perkantoran. Tren penurunan ini masih merupakan lanjutan dari tahun 2014.
Menurut Ferry Salanto, Associate Director Research Colliers International, sebuah perusahaan manajemen dan konsultan properti global, penurunan yang dimaksud adalah perlambatan karena di awal tahun 2015 ini kondisinya masih sangat terkait dengan penurunan yang terjadi di tahun 2014.

Ilustrasi
“Secara harga sebenarnya bergerak dari tahun 2013 bahkan di awal tahun 2014 terjadi sedikit kenaikan, tapi secara umum terjadi perlambatan. Saat ini total ada 146.300 unit apartemen di Jakarta dan akan ada tambahan pasokan sebanyak 29 ribuan unit di tahun 2015 ini,’ ujarnya kepada housing-estate.com saat paparan Jakarta Property Market Report, di Jakarta, Selasa (7/4).
Pada dasarnya, lanjut Ferry, harga apartemen pasti naik. Hal ini karena terkait gengsi dan bila kejadian ada harga turun, konsumen yang pertama membeli akan protes ke developernya. Sehingga penurunan harga efeknya tidak sesederhana itu bahkan bisa sangat berpengaruh terhadap keseluruhan proyek apartemennya.
Yang dimaksud oleh Ferry adalah harga memang tetap naik tapi secara pertumbuhan terjadi perlambatan yang cukup signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. “Jadi ada perlambatan karena serapan (take up rate) maupun okupansi juga menurun. Apalagi ada tambahan suplai sebanyak 29 ribuan unit, maka tren perlambatan ini masih akan terjadi di tahun 2015,” imbuhnya.
Banyaknya suplai apartemen di tahun ini karena beberapa proyek yang tertunda di tahun lalu akhirnya masuk ke pasar di tahun ini. Hal ini semakin membuat kondisi market kian ketat dan telah membuat penurunan take up rate menjadi 85,5 persen dari kuartal sebelumnya yang masih 87 persen.
Untuk sektor perkantoran juga berlaku hal yang sama. Saat ini ada 11 juta m2 ruang perkantoran dan akan masuk lagi seluas 4,6 juta m2 hingga tahun 2019. Secara umum, pertumbuhan ruang perkantoran di CBD maupun non CBD mencapai 12,5 persen per tahun. Sebanyak 1,2 juta m2 (40 persen) ruang perkantoran ada di koridor Sudirman dan ke depannya koridor ini masih akan bertumbuh dengan pengembangan baru maupun gedung lama yang di-demolish. Pertumbuhan Sudirman sendiri cukup aktif, mencapai 600 ribu m2 per tahun.
Hanya saja terjadi penurunan okupansi dibandingkan kuartal lalu yaitu mencapai 2 persen. Angka 2 persen ini menurut Ferry cukup besar dari sisi besaran. “Secara harga untuk perkantoran kelihatannya seperti naik, tapi ini karena didorong oleh suplai ruang perkantoran baru yang harganya memang mahal sehingga terkesan harganya naik. Kondisi di lapangan tidak seperti itu,” jelasnya.
Saat ini, lanjut Ferry, para pemilik gedung berpikir keras untuk mengisi ruang kantornya sehingga penawaran harga menjadi lebih fleksibel apalagi untuk tenant dengan brand yang sangat bagus. Penurunan ini salah satu pendorongnya adalah karena melemahnya industri oil & gas dengan penurunan harga minyak dunia maupun kondisi pelemahan rupiah terhadap dollar AS.
“Gedung yang masuk di tahun 2015 harganya sudah sangat tinggi sehingga memengaruhi harga keseluruhan. Di market sendiri saat ini terjadi diskon yang cukup besar untuk perkantoran yang eksisting sementara untuk gedung baru harus bisa menarik tenant karena opsi saat ini cukup banyak,” tandasnya.
Tahun 2015 ini ruang perkantoran baru yang masuk mencapai 300 ribu m2 dan yang sudah komitmen menyewa sebanyak 56,4 persen sementara di tahun 2016 mencapai 39,2 persen. Kawasan T.B. Simatupang, Jakarta Selatan, merupakan area non CBD yang memasok ruang perkantoran terbesar di luar CBD dengan okupansi di bawah 90 persen.